Logo

Nagari Lunang Tiga

Kabupaten Pesisir Selatan

Home

Profil Nagari

Berita

Infografis

APBDes

IDM

Stunting

TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARRAM 1447 H DAN TRADISI YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA.

TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARRAM 1447 H DAN TRADISI YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA.

Invalid Date

Ditulis oleh Admin Berita

Dilihat 245 kali

TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARRAM 1447 H DAN TRADISI YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA.

Pemerintah Indonesia menetapkan 1 Muharram sebagai hari libur nasional sejak lama. Penetapan tanggal merah pada 1 Muharram untuk menghormati pentingnya peristiwa hijrah dalam sejarah Islam. Selain itu, momen ini digunakan oleh banyak umat Muslim di Indonesia untuk melaksanakan kegiatan keagamaan.

Sesuai kalender pemerintah, 27 Juni 2025 adalah hari libur 1 Muharam Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. Merujuk laman Majelis Ulama Indonesia, 1 Muharram adalah hari pertama dalam kalender Islam. Penetapan tersebut dimulai ketika Gubernur Abu Musa Al-Asyari mengirimkan surat kepada Khalifah Umar Bin Khatab pada tahun 17 Hijriah.

Dilansir dari website resmi Kementerian Agama (Kemenag), tahun baru hijriah diambil dari momentum hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah lebih dari 14 abad lalu. Peristiwa ini membawa makna mendalam bagi perjalanan dakwah Nabi Muhammad Saw. Islam kemudian tersebar ke berbagai penjuru dunia.

Dalam tradisi umat Islam, 1 Muharram memiliki makna istimewa. Tanggal ini bukan sekadar awal bulan dalam kalender Hijriyah, tetapi juga menjadi penanda Tahun Baru Islam. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi yang identik dengan kemeriahan dan pesta, Tahun Baru Islam lebih dimaknai sebagai momen introspeksi, hijrah, dan pembaruan diri. Namun, sejak kapan 1 Muharram diperingati sebagai tahun baru Islam? Bagaimana sejarah penetapannya?

Sejarah Munculnya Kalender Hijriyah

Mengutip buku Menggapai Berkah di Bulan-bulan Hijriah karya Siti Zamratus Sa'adah, awal mulanya, umat Islam belum memiliki sistem penanggalan yang baku. Surat-menyurat antara khalifah pusat dengan para pemimpin di wilayah kekuasaan Islam pun kerap kali mengalami kebingungan karena tidak disertai dengan penanggalan yang jelas.

Hal ini terjadi sekitar 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Salah satu gubernur, Abu Musa al-Asy'ari, mengirimkan surat kepada Khalifah Umar dan meminta agar dibuat sistem kalender resmi agar urusan administrasi menjadi lebih tertib dan teratur.

Permintaan ini kemudian ditanggapi dengan serius oleh Umar bin Khattab. Ia segera mengumpulkan para sahabat Nabi untuk bermusyawarah guna menetapkan sistem penanggalan yang tetap bagi umat Islam.

Dalam pertemuan itu, muncul berbagai pendapat tentang dari mana sebaiknya hitungan tahun dalam Islam dimulai. Sebagian sahabat mengusulkan agar dimulai dari kelahiran Nabi Muhammad SAW, ada juga yang mengusulkan dari hari pertama Nabi SAW menerima wahyu, serta yang mengusulkan dari hari wafatnya Nabi SAW.

Namun, akhirnya para sahabat sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah sebagai tonggak awal kalender Islam.

Khalifah Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan bahwa tahun hijrah Nabi SAW adalah tahun satu, dan sejak saat itu kalender umat Islam disebut 'Tarikh Hijriyah.' Tanggal 1 Muharram pada tahun 1 Hijriah bertepatan dengan 16 Tammuz 622 Rumi (16 Juli 622 Masehi).

Tahun keluarnya keputusan Khalifah itu (638 M) langsung ditetapkan sebagai 17 Hijriyah.

Kalender Islam dikenal dengan nama hijriyah, kata ini berasal dari bahasa Arab 'Hijriyah' yang berarti berpindah. Kata ini diambil dari awal mula penanggalan ini yaitu hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah.

Dr. Asy-Syalbi mengatakan dalam As-Sirah An-Nabawiyyah Al-Athirah, "Setelah Rasulullah SAW berhijrah, maka tahun itu menjadi awal mula penanggalan Islam atau penanggalan Hijriyah."

Dalam buku berjudul Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriyah karya Ida Fitri Shohibah, meskipun peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW terjadi pada bulan Rabi'ul Awwal, para sahabat memilih bulan Muharram sebagai awal tahun Hijriyah. Ini bukan keputusan sembarangan, tetapi berdasarkan pertimbangan yang matang.

Bulan Muharram merupakan salah satu dari empat bulan haram dalam Islam, yang sejak zaman jahiliyah telah dimuliakan dan dihormati. Muharram juga berdekatan dengan bulan Dzulhijjah, saat umat Islam menunaikan ibadah haji.

1 Muharram memiliki makna mendalam bagi umat Islam. Ini bukan sekadar pergantian angka tahun, melainkan simbol hijrah, berpindah dari kegelapan menuju cahaya, dari lalai menuju kesadaran, dari dosa menuju taubat.

Berikut nama-nama bulan dalam kalender hijriah:

  1. Muharram
  2. Safar
  3. Rabiul Awal
  4. Rabiul Akhir
  5. Jumadil Awal
  6. Jumadil Akhir
  7. Rajab
  8. Syakban
  9. Ramadan
  10. Syawal
  11. Zulkaidah
  12. Zulhijah

1 Muharram Menurut Tradisi Minangkabau.

Di Minangkabau, 1 Muharram atau Tahun Baru Islam dirayakan dengan berbagai tradisi, salah satunya adalah upacara Tabuik di Pariaman. Tabuik adalah upacara yang memperingati syahidnya Husein bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad, di Karbala. Upacara ini melibatkan serangkaian ritual yang dimulai pada tanggal 1 Muharram dan puncaknya pada tanggal 10 Muharram. 

Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai tradisi Tabuik:

  • Maambiak Tanah: Pada tanggal 1 Muharram, dilakukan pengambilan tanah dari sungai sebagai simbol jasad Husein. 
  • Mataam: Ritual ini dilakukan pada hari ke-7 Muharram.
  • Mengarak Jari-jari: Dilakukan pada malam hari setelah Mataam.
  • Mengarak Sorban: Dilakukan pada keesokan harinya.
  • Tabuik Naik Pangkek: Puncak dari rangkaian ritual Tabuik.
  • Hoyak Tabuik: Ritual peringatan kematian Hasan dan Husein di Padang Karbala.
  • Membuang Tabuik ke Laut: Tabuik, yang merupakan replika Buraq (makhluk legenda yang membawa peti jenazah Husein), dilarung ke laut sebagai simbol pelepasan. 

Meskipun inti perayaan terkait dengan peristiwa di Karbala, tradisi Tabuik di Pariaman juga telah disesuaikan dengan adat istiadat Minangkabau. Selain Tabuik, ada juga tradisi lain yang dilakukan masyarakat Minangkabau dalam menyambut 1 Muharram, seperti membaca doa akhir dan awal tahun, berdzikir, membaca Al-Quran, salat sunnah, dan silaturahmi. 

1 Muharram Menurut Adat Jawa (1 Suro)

Malam 1 Suro merupakan salah satu momen sakral yang memiliki makna mendalam dalam tradisi dan budaya masyarakat Jawa, bertepatan dengan malam 1 Muharram dalam kalender Hijriah. 

Di beberapa daerah, malam 1 Suro disambut dengan suasana hening, penuh kehati-hatian, dan kesadaran spiritual yang tinggi. Masyarakat memilih untuk tidak mengadakan pesta atau keramaian, melainkan menjalani ritual seperti tirakat, meditasi, mandi kembang, hingga ziarah ke makam leluhur sebagai bentuk penghormatan dan permohonan keselamatan.

Malam 1 Suro pada tahun ini bertepatan dengan Jumat Kliwon, 27 Juni 2025. Tanggal tersebut juga telah ditetapkan sebagai libur nasional berdasarkan SKB Tiga Menteri karena berbarengan dengan momen 1 Muharram 1447 Hijriah.

Makna Malam 1 Suro

Kata ‘suro’ berasal dari kata ‘Asyura’ dalam bahasa Arab yang artinya adalah sepuluh. Dalam lidah masyarakat Jawa, kata Asyura ini kemudian dilafalkan menjadi ‘suro’ yang dikenal sebagai malam sakral hingga saat ini.

Diketahui, tradisi Suro sudah dilakukan sejak dinasti Sultan Agung, tepatnya pada Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Saat itu, masyarakat Jawa mengadopsi kalender Islam untuk menyatukan nilai-nilai Islam dan kejawen. 

Malam 1 Suro dianggap sebagai waktu yang sangat sakral. Masyarakat Jawa meyakini bahwa malam ini adalah waktu terbaik untuk menyepi, bertafakur, dan menjalani tirakat (laku spiritual) demi membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Suro juga diyakini sebagai bulan yang penuh energi mistis. Oleh karena itu, banyak orang menghindari kegiatan besar seperti pernikahan atau hajatan selama bulan ini. Sebaliknya, kegiatan yang bersifat spiritual seperti ritual tolak bala, ziarah kubur, atau pertapaan lebih dianjurkan.

Tradisi Malam 1 Suro

Setiap daerah umumnya memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam memperingati malam 1 Suro. Berikut ini informasi lengkapnya yang dirangkum dari berbagai sumber.

1. Gunung Kidul Yogyakarta

Di daerah Gunung Kidul, tepatnya di Desa Ngeposari, malam 1 Suro biasanya dilakukan tradisi mujahadah yang dilanjutkan dengan sholawat Jawa kuno selama semalaman. Pada malam 1 Suro, masyarakat di Desa Ngeposari juga memasak beberapa ekor ayam kampung dan nasi genduri yang kemudian didoakan oleh sesepuh padukuhan. 

Selain itu, di wilayah lain di Gunung Kidul juga dilaksanakan ziarah kubur. Tradisi ini dilakukan sebagai refleksi dan introspeksi apa yang telah dilakukan selama satu tahun ini. 

2. Keraton Yogyakarta

Peringatan malam 1 Suro juga dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Pada malam sakral ini, dilakukan jamasan pusaka, yakni tradisi mensucikan benda-benda pusaka seperti gamelan, kereta, hingga keris dengan tujuan menghormati leluhur dan perawatan benda sejarah. 

Puncak tradisi malam 1 Suro adalah dengan dilakukannya kegiatan mubeng beteng, yakni mengitari benteng Keraton Yogyakarta berlawanan arah jarum jam. Kegiatan ini dilakukan oleh para abdi dalem dan masyarakat dengan berjalan tanpa alas kaki serta tanpa bersuara.

Setelah selesai melakukan prosesi, dilanjutkan dengan menyantap bubur suran yang ada di Keraton Yogyakarta. Dalam tradisi ini, bubur dibuat menggunakan tujuh kacang berbeda yang melambangkan jumlah hari dalam seminggu, artinya setiap hari kita harus bersyukur.

3. Magetan

Masyarakat Magetan, Jawa Timur juga merayakan malam 1 Suro dengan tradisi unik, yakni disebut ledug Suro. Tradisi ini diawali dengan melakukan karnaval Nayoko Projo dan Bolu Rahayu, kemudian melantunkan doa-doa pada bolu rahayu, lalu memakannya, yang dipercaya bisa menjadi obat dan pembawa berkah.

4. Bantul, Yogyakarta

Masyarakat di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul rutin menggelar ritual Samas di setiap Malam Satu Suro. Ritual tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mengenang Maheso Suro yang diyakini telah mendatangkan kemakmuran bagi warga di pesisir pantai selatan Jawa.

5. Surakarta

Dalam tradisi keraton Surakarta, kirab pusaka juga melibatkan kerbau bule (albino) yang dianggap hewan keramat dan memiliki nilai simbolis dalam budaya Jawa. Kerbau ini memimpin kirab dan dipercaya membawa berkah. Banyak masyarakat yang berdesakan ingin menyentuh kerbau ini karena diyakini dapat mendatangkan keberuntungan.

Mitos Malam 1 Suro

Malam 1 Suro dalam budaya Jawa dikenal sebagai malam yang penuh mistik dan mitos, sarat dengan nuansa sakral yang membuat banyak orang memilih untuk berhati-hati dan tidak melakukan kegiatan besar. 

Meskipun sebagian besar bersumber dari kepercayaan tradisional, mitos-mitos ini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat hingga kini. Berikut beberapa mitos yang berkembang terkait malam 1 Suro dirangkum dari berbagai sumber.

1. Malam Berenergi Gaib Kuat

Banyak orang percaya bahwa malam 1 Suro adalah waktu di mana makhluk halus atau kekuatan gaib sedang sangat aktif. Karena itu, masyarakat dianjurkan untuk tidak keluar malam sembarangan, apalagi ke tempat-tempat sepi seperti hutan, gunung, atau pantai, karena dipercaya dapat terganggu atau mengalami kesialan.

2. Pantangan Menggelar Hajatan

Salah satu mitos yang sangat populer adalah larangan mengadakan hajatan besar seperti pernikahan, pindahan rumah, atau sunatan pada bulan Suro. Diyakini bahwa menggelar acara penting di bulan ini akan membawa nasib buruk atau sial karena energinya lebih cocok untuk menyepi dan merenung, bukan berpesta.

3. Tidak Boleh Bersenang-Senang

Malam 1 Suro dianggap sebagai waktu untuk menyucikan diri dan melakukan laku spiritual (tirakat). Oleh karena itu, diyakini sebagai waktu yang tidak baik untuk bersenang-senang, berpesta, atau membuat keramaian. Sebaliknya, malam ini diisi dengan kegiatan hening, berdoa, dan menjauh dari hiruk-pikuk duniawi.

4. Tidak Boleh Mengucap Kata-Kata Kasar

Berkata kasar atau mencela orang lain pada malam 1 Suro dipercaya bisa mendatangkan balasan spiritual atau karma yang cepat. Malam ini dianggap penuh getaran halus, sehingga perilaku negatif dipercaya mudah mengundang energi buruk.

secara keseluruhan dimasing - Masing daerah memiliki tradisi yang berbeda terkait datangnya 1 muharram 1447 H. dengan kesimpulan semua bertujuan baik untuk mengucap rasa syukur dan mengenang sejarah dengan adanya 1 muharram. terkadang manusianya yang sering memberi makna yang berbeda dan di selipkan beberapa kata sehingga akan memberi kesan berbeda pada tradisi tersebut.

semoga dengan datangnya tahun baru hijriah 1447 ini akan menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT Tuhan semesta alam, dan tetap diberikan bimbingan dan tuntunan agar dapat menyongsong di tahu 1447 H untuk lebih baik dari tahun sebelumnya. Amiinn.

Bagikan:

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Logo

Nagari Lunang Tiga

Kecamatan Lunang

Kabupaten Pesisir Selatan

Provinsi Sumatera Barat

© 2025 Powered by PT Digital Desa Indonesia